Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan tentang keutamaan berbakti kepada
orang tua. Di situdisebutkan bahwa menghormati orang tua merupakan hal yang
penting dilakukan. Sebab seorang anak bisa lahir ke dunia lantaran ada kedua
orang tuanya.
Allah SWT berfiirman dalam surat Luqman ayat 14 yang di dalamnya terdapat
perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ
وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ
وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
wa waṣṣainal-insāna biwālidaīh, ḥamalat-hu ummuhụ
wahnan 'alā wahniw wa fiṣāluhụ fī 'āmaini anisykur lī wa liwālidaīk,
ilayyal-maṣīr
Artinya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang
tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
Dalam ayat
di atas, Allah menggandengkan hak kedua orang tua dengan tauhid karena
penciptaan pertama berasal dari Allah, sedangkan penciptaan, pendidikan,
keduanya berasal dari pihak kedua orang tua. Dengan demikian Allah
menggandengkan terima kasih kepada keduanya dengan ucapan terima kasih kepada
Allah SWT.
Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan naluri
dan fitrah setiap manusia. Sebab dalam jiwa dan setiap orang tertanam sifat
cinta dan hormat kepada kedua orang tuanya atau ayah ibunya. Sebab kedua ibu bapaknyalah
yang menjadi sebab kehadiran setiap orang ke dunia ini.
Meskipun demikian dalam Islam berbakti kepada
kedua orang tua memiliki kedudukan yang mulia. Banyak keterangan dari Al-Qur’an
dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan
keutamaan berbakti kepada kedua orang tua.
1. Amalan Paling Dicintai Allah
Dalam
suatu hadits shahih yang diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut berbuat
baik kepada kedua orang tua sebagai salah satu amalan yang paling dicintai oleh
Allah.
Abu ‘Amr Asy-Syaibani meriwayatkan,
pemilik rumah ini (seraya menunjuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud) menyampaikan
kepadaku;
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: «الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا»
قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: «ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ» قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوِ
اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasul
menjawab, “Shalat pada (awal) waktunya.” “Kemudian apa lagi?” Nabi
Menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang tua.”Aku
bertanya kembali.” “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.”
Ibnu
Mas’ud mengatakan, “Beliau terus menyampaikan kepadaku (amalan
yang paling dicintai oleh Allah), andaikan aku meminta tambahan, maka beliau
akan menambahkan kepadaku”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasai).
2. Amalan Paling Utama
Berbuat baik dan berbakti kepada
orang tua juga merupakan amalan yang afdhal atau paling utama. Sebagaimana
dalam versi riwayat lain hadits Ibnu Mas’ud di atas.
فعن عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ عَلَى مِيقَاتِهَا»،
قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ»، قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟
قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Dari ‘Abdullh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, “Amalan apakah yang paling
afdhal (utama)?” Rasul menjawab, “Shalat pada –waktu-waktunya.” Aku bertanya
lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau Mmenjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang
tua.”Aku bertanya kembali.” “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi
Sabilillah.” Kemudian aku terdiam dan tidak lagi bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan aku meminta tambahan, maka beliau
akan menambahkan kepadaku”. (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
3. Umur Panjang dan Kemudahan Rezki Bagi Anak yang Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Anak yang senantiasa berbuat baik
dan berbakti kepada kedua orang tuanya akan memperoleh keberkahan hidup berupa
umur panjang dan kemudahan rezki. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwaykan oleh Imam Ahmad dan
dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ،قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ،
وَأَنْ يُزَادَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezkinya,
maka hendaknya ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambug silaturrahim
(kekerabatan).” (HR. Ahmad).
4. Pintu Surga yang Pertengahan
Kedua
orang tua merupakan salah satu pintu surga, bahkan pintu surga yang paling
pertengahan. Abu Abdurrahman As-Sulami meriwayatkan dari Abu Darda, Seorang
pria mendatangi beliau mengatakan, “Saya memiliki seorang
istri, namun ibuku menyuruhku untuk mentalaknya. Abu Darda mengatakan, Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
«الوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الجَنَّةِ، فَإِنْ شِئْتَ
فَأَضِعْ ذَلِكَ البَابَ أَوْ احْفَظْهُ»
“Orang tua merupakan pintu syurga paling pertengahan, jika engkau
mampu maka tetapilah atau jagalah pintu tersebut”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban,
dishahihkan Syekh Al-Albani dan syekh Al-Arnauth).
5. Ridha Allah Tergantung Ridha Kedua Orang Tua
Bakti
seorang anak kepada kedua orang tuanya akan mengundang ridha kedua orang tua
kepada anak. Sementara ridha kedua orang tua terhadap anak merupakan penentun
seorang anak mendapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhu meriwatakan, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
«رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي
سَخَطِ الْوَالِدِ». (26
“Ridha Rabb tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung
murka orang tua”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban,
dishahihkan oleh Syekh Al-Albani).
6. Do’a yang Mustajab Bagi Anak yang Berbakti
Anak
yang berbakti akan senantiasa didokan oleh orang tuanya, dan do’a orang tua
untuk kebaikan anaknya meruapakan salah satu do’a yang musatajab (memiliki peluang besar dikabulkan oleh
Allah).
Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
” ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ، لَا شَكَّ فِيهِنَّ:
دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ
لِوَلَدِهِ “
“Ada tiga do’a yang mustajab, tidak ada keraguan akan hal itu;
do’a orang yang terdzalimi, do’a musafir, dan do’a orang tua untuk (kebaikan)
anaknya”. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan
oleh Syekh Al-Arnauth).
Dalam riwayat lain berbunyi;
” ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ:
دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “
“Ada tiga do’a yang mustajab, tidak ada keraguan tentang hal itu;
do’a orang tua (untuk anaknya), do’a musafir, dan do’a orang terdzalimi”. (HR. Abu Daud dan Ahmad, dihasankan oleh Syekh
Al-Albani).
7. Sebab Dikabulkannya Taubat
Berbuat baik atau berbakti kepada
kedua orang tua atau kepada salah satu dari keduanya merupakan salah satu sebab
dikabulkannya taubat. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa;
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، رَجُلٌ، فقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَذْنَبْتُ ذَنْبًا
كَبِيرًا، فَهَلْ لِي مِنْ تَوْبَةٍ؟، فقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَكَ وَالِدَانِ؟ »، قَالَ: لَا، قَالَ: «فَلَكَ
خَالَةٌ»؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَبِرَّهَا إِذًا».
“Seorang pria datang kepada Rasululla
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “wahai Rasulullah, saya telah
melakukan dosa besar, apakah masih ada taubat utukku?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah kamu masih memiliki kedua orang
tua?” “Tidak,” “Apakah kamu memiliki khalah (saudari ibu)?” “Iya,” “Kalau
begitu berbuat baiklah kepadanya!” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan
Ibnu Hibban, dishahihkan olejh Syekh Al-Albani).
وعن عطاء ، عن ابن عباس رضي الله عنهما: أَنَّهُ أَتَاهُ
رَجُلٌ ، فَقَالَ : إِنِّي خَطَبْتُ امْرَأَةً فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَنِي
وَخَطَبَهَا غَيْرِي، فَأَحَبَّتْ أَنْ تَنْكِحَهُ ،فَغِرْتُ عَلَيْهَا
فَقَتَلْتُهَا ،فَهَلْ لِي مِنْ تَوْبَةٍ؟ قَالَ: أُمُّكَ حَيَّةٌ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: تُبْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَتَقَرَّبْ إِلَيْهِ مَا اسْتَطَعْتَ،
فَذَهَبْتُ فَسَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ: لِمَ سَأَلْتَهُ عَنْ حَيَاةِ أُمِّهِ؟
فَقَالَ: إِنِّي لَا أَعْلَمُ عَمَلًا أَقْرَبَ إِلَى الله عز وجل من بر الوالدة.
(30)
‘Athaa`
bin Yasaar rahimahullah meriwayatkan,
Suatu ketika Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma didatangi seseorang lalu berkata
pada beliau:
“Sesungguhnya sebelumnya saya melamar seorang wanita, namun ia
enggan menikah denganku, dan kemudian dilamar oleh orang lain, dan iapun mau
menikah dengannya, lalu saya pun merasa cemburu dan membunuh wanita tersebut,
maka apakah taubat saya bisa diterima ?“.
Ibnu
Abbas balik bertanya padanya: “Apakah ibumu masih hidup?”
Ia menjawab: “Tidak (sudah wafat)”. Maka Ibnu Abbas berkata padanya:
“Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wajalla, dan beribadahlah mendekatkan
diri pada-Nya semaksimal kemampuanmu“. ‘Athaa` berkata: (Setelah
orang tersebut pergi) saya mendatangi Ibnu Abbas dan bertanya padanya: Kenapa
anda bertanya tentang hidupnya ibunya?
Beliau
menjawab: “Sesungguhnya saya tidak tahu ada amalan yang
lebih mendekatkan diri kepada Allah (dan lebih dicintai-Nya) dari berbakti pada
sang bunda“. (Atsar ini shahih).
8. Amalan di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
Berbuat
baik dan berbakti kepada kedua orang tua merupakan amalan mulia, bahkan
termasuk amalan di jalan Allah. Sebagaimana dalam suatu riwayat dari sahabat
Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu;
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة، قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِلْدِهِ وَنَشَاطِهِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ
فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ
كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ
يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً
فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Seorang pria lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu dilihat oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan
kesungguhannya dan rajinnya dalam bekerja. Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, andaikan (kesungguhan dan rajinnya ini) di jalan Allah?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika ia keluar untuk
bekerja menghidupi anaknya yang masih kecil maka ia termasuk di jalan Allah,
jika ia keluar bekerja untuk membantu/menghidupi kedua orang tuanya yang sudah
sepuh maka ia di jalan Allah, jika ia keluar bekerja untuk dirinya sendiri demi
menjaga kehormatan/harga dirinya maka ia di jalan Allah, dan jika ia keluar
untuk riya (pamer) dan berbangga diri maka ia di jalan setan.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Komentar
Posting Komentar